:)


Sabtu, 14 September 2013

TANTANGAN MUHAMMADIYAH-POLITIK



BAB II
PEMBAHASAN
A.       Politik Muhammadiyah
Semua pihak mengetahui bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik dan tidak pernah menjadi organisasi politik. Walaupun dalam Doktrin Muhammadiyah menyebutkan bahwa “Muhammadiyah menghindari kegiatan politik praktis” (Dr. Amien Rais : 1998: 48) dimensi politik dari gerakan Muhammadiyah tidak dapat diabaikan. (Sudarnoto A H:kompas:83). Dalam tubuh Muhammadiyah telah berkembang corak pemikiran yang cerdas tentang posisi politik Muhammadiyah. Pikiran tersebut intinya menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengabaikan politik, tetapi tidak berarti bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai respon terhadap kondisi sosial pada masanya. Pikiran ini pernah muncul dan diterapkan pada periode awal Muhammadiyah, dan dikemukakan kembali oleh Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah) waktu itu, pada sekitar tahun 1997, dengan istilah baru: high politics atau politik adi luhung (tingkat tinggi).
Politik adiluhung adalah politik dimana Muhammadiyah tidak hanya peduli dengan keagamaan tetapi juga peduli dengan realitas sosial yang terjadi. Muhammadiyah harus sensitif dan perlu merespon berbagai isu-isu seperti: KKN, kepemimpinan nasional, kemiskinan, ketidakadilan global, konflik dan berbagai macam fenomena sosial di Indonesia. Sehingga Muhammadiyah dalam konteks ini perlu memiliki kemandirian politik. Artinya organisasi Muhammadiyah lahir adalah demi kepentingan umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya. Atau para elit Muhammadiyah harus tampil dalam pengabdian masyarakat tanpa beban politik dan interest pribadi. Muhammadiyah secara konstitusi internal organisasi mengedepankan prinsip politik untuk dakwah bukan dakwah untuk politik, hal ini jelas tergambar dalam matan keperibadian Muhammadiyah, disamping sebagai gerakan Islam dan gerakan Tajdid, Muhammadiyah menekankan diri sebagai gerakan dakwah. Segala kegiatan dalam bidang pendidikan, social, termasuk politik diselenggarakan untuk kepentingan dakwah.
Muhammadiyah memiliki slogan yang menarik “hidup hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah” ungkapan KH.Ahmad dahlan ini memiliki arti yang sangat mendalam sesungguhnya bila dikaitkan dengan isu kontemporer prinsip high politic yaitu politik tingkat tinggi atau politik Adiluhung yang dicetuskan oleh Amien Rais sangat layak untuk menangkal permasalahan-permasalahan intress politic dikalangan petinggi Muhammadiyah saat ini.
Untuk melihat perkembangan dan implikasi politik Muhammadiyah, kita harus mengidentifikasi fenomena kemunculan Muhammadiyah hingga fase perkembangannya hingga saat ini. Ada empat fase perkembangan Muhammadiyah, empat fase perkembangan Muhammadiyah yaitu :
1.      Fase Identifikasi Diri
Pada fase ini Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai gerakan Islam Modern yang berbasis perkotaan dan menjanjikan perubahan. Dalam fase ini Muhammadiyah secara bertahap telah berhasil memperoleh dukungan yang cukup luas.
2.       Fase Ideologi Politik
Pada fase ini basis massa yang terbangun atas dasar Islam ini merupakan legitimasi terhadap kelibatan elite Muhammadiyah secara praktis dalam politik sekaligus merumuskan Islam sebagai Ideologi politik. Catatan sejarah mengungkapkan bahwa tuntutan kelompok ini ialah tegaknya satu bentuk masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia modern yang didasarkan kepada ajaran Islam, contohnya keterlibatan Muhammadiyah atau sejumlah tokoh-tokohnya mendirikan PII, MIAI, Partai Masyumi dan Parmusi.
3.      Fase Depolitisasi dan Deideologisasi
Tumbangnya komunis dan tegaknya orde baru sebenarnya memberikan harapan termasuk bagi Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan politiknya. Akan tetapi peluang harus mengikuti logika restrukturisasi politik orde baru dalam rangka stabilitas dan pembangunan nasional. Yang berarti bahwa Muhammadiyah pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ideologi politik Islam sebagaimana yang selama ini diperjuangkan harus segera dikubur. Karena dalam penyesuaian politik orde baru, pragmatism politik harus menjadi satu-satunya pilihan sikap yang harus diambil oleh Muhammadiyah.
4.      Fase Repotilisasi
Era depolitisasi dan deideologisasi Muhammadiyah ini semakin memperoleh bentuknya, tentu sejak penerapan Pancasila sebagai satu-satunya Azas. Di masa ini kebangkitan kultural islam mulai Nampak dan hal ini pula yang mempersubur semangat repolitisasi di lingkungan warga Muhammadiyah ini dibuktikan dengan dijumpainya banyak aktifis orsospol yang merupakan tokoh Muhammadiyah atau partisipan, dan hal ini pula yang menyebabkan faktor mobilisasi warga Muhammadiyah untuk melakukan “ittiba politik” kepada para pembesar. (Sudarnoto A.H : Kompas : 83-87)
B.        Peran Politik Muhammadiyah dalam Kancah Politik Indonesia
Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan organisasi Islamic-based civil society (masyarakat madani) dan sekaligus sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu, Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting dan strategis dalam dinamika politik nasional.
Salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang sejarah dalam menjalankan misinya adalah kemampuannya memelihara jarak (disengagement) dengan negara, kekuasaan (power), dan politik sehari-hari (day-to-day politics). Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya cenderung melakukan “political disengagement”, menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam politik, apakah “politik negara” (state politics) maupun “politik kepartaian” (party politics), atau politik kekuasaan (power politics). Dengan watak seperti itu, Muhammadiyah dapat terhindar dari kooptasi negara atau, lebih parah lagi, bahkan menjadi bagian dari negara itu sendiri. Begitu pula dengan sikap Muhammadiyah yang mengambil jarak dengan parpol-parpol sehingga tidak terjadi identifikasi Muhammadiyah dengan parpol tertentu. Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan mu-ruah-nya sebagai organisasi civil society.
Peranan   Muhammadiyah   yang   penting   dan   berarti   adalah   dalam menciptakan kesatuan  dan persatuan bangsa  Indonesia. Muhammadiyah ikut  serta  memperjuangkan  kemerdekaan  Republik  Indonesia  sebagai kesatuan  politik.  Muhammadiyah  sejak  berdirinya  selalu  memberikan kontribusi yang besar dalam bidang itu. Politik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dan bagi Muhammadiyah ada peranan-peranan tertentu dalam sejarahnya dibidang politik. Muhammadiyah merupakan kelompok cendikiawan  yang melakukan  pendekatan  ilimiah  dalam  menganalisis perkembangan politik.
Peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting. Muhammadiyah memang bukan partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan organisasi Islamic-based civil society (masyarakat madani) dan sekaligus sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu, Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting lian strategis dalam dinamika politik nasional.
Besarnya Muhammadiyah dalam berbagai segi dan juga dengan keluasan ruang geraknya membuat daya tekan politik (political leverage) perserikatan ini dalam kancah politik nasional tidak bisa diabaikan. Meskipun, sekali lagi, ia bukanlah organisasi politik. Walau begitu. Muhammadiyah seyogianya tidak tampil “terlalu politis” dalam berbagai perkembangan dan dinamika politik nasional. Sebaliknya, Muhammadiyah mesti senantiasa lebih menampilkan diri sebagai civil society dan interest group, yang sekaligus memainkan peran sebagai pressure grdup (kelompok penekan).
Saat ini Muhammadiyah cenderung mengambil posisi berseberangan, kritis -untuk tidak menyatakan “beroposisi”- terhadap rezim Yudhoyono-Boediono. Sikap kritis Muhammadiyah terhadap pemerintahan Yudhoyono terbentuk sejak tahun-tahun terakhir pemerintahannya periode pertama (2004-2009). Hubungan yang kian tidak mulus antara Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono kian meningkat ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (seperti juga NU dan banyak ormas Islam lain), baik secara implisit maupun eksplisit, memberikan dukungan kepada pasangan capres-cawapres M. Jusuf Kalla-Wiranto.
Sikap Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam tersebut kelihatannya sangat membekas dalam diri Presiden Yudhoyono. Akibatnya, Muhammadiyah dan NU khususnya tidak lagi “diundang” untuk memberikan kadernya menjadi anggota kabinet. Bahkan, kini tidak ada lagi figur representasi Muhammadiyah dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal, terdapat beberapa posisi menteri yang dalam kabinet-kabinet masa Pasca-Soeharto hampir selalu dipegang figur-figur Muhammadiyah. Terkatakan atau tidak oleh para pimpinan dan anggota Muhammadiyah, kenyataan itu merupakan sesuatu hal sangat pahit yang sedikit banyak menimbulkan resentment di lingkungan perserikatan.
C.      Tantangan Yang Dihadapi Muhammadiyah Dalam Bidang Politik
1.      Menurut Busyro Muqoddas, tantangan eksternal yang dihadapi Muhammadiyah adalah etika politik yang menonjolkan transaksional pragmatis mengacaukan sistem ketatanegaraan dan sistem presidensial.
2.      Syahwat politik beberapa oknum dalam kepemimpinan elite Muhammadiyah, baik pusat daerah maupun cabang, akhirnya terjadi konflik internal Muhammadiyah, karena perbedaan aspirasi politik, dan parahnya adalah menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan atau batu loncatan untuk meraih kedudukan politik sementara orang atau aktif di Muhammadiyah hanya sebagai sarana untuk mendapat dukungan politik tapi setelah jadi tidak mau tahu tentang Muhammadiyah.
3.      Muhammadiyah terjebak dalam arus politik kekuasaan, yang seringkali meninggalkan khittahnya sebagai gerakan dakwah Islam.
4.      Campur tangannya organisasi lain yang masuk ditubuh Muhammadiyah dengan cara memasukkan kader-kadernya atau merekrut kader dengan cara menyelenggarakan kajian-kajian dengan mengundang tokoh-tokoh atau pimpinan Muhammadiyah (yang memang tidak melek politik dan mudah dikibulin) dengan tujuan mencari dukungan bagi kepentingan politiknya.

D.      Manifesto Politik Muhammadiyah
            Memang, secara langsung Muhammadiyah tidak berperan dalam politik praktis di Indonesia. Akan tetapi, secara tidak langsung pemikiran-pemikiran Muhammadiyah telah mempengaruhi kebijakan Negara Indonesia bahkan dari awal berdirinya Negara ini hingga sekarang. Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga akhir era demokrasi Liberal, ada 18 Kabinet dalam pemerintahan Indonesia. dalam setiap cabinet itu memiliki kontribusi kecuali dalam 4 kabinet yaitu Kabinet Amir I, Kabinet Pemerintahan darurat RI, Susanto, dan Ali I. Dari sinilah manifesto politik Muhammadiyah mulai ada, meskipun hal itu secara tidak langsung.
Muhammadiyah sebagai gerakan Sosial Pendidikan Kemasyarakatan di Indonesia memiliki massa yang sangat besar. Bahkan memiliki anggoa hingga 4 juta orang di seluruh negeri ini. Ini menjadikan Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam terbesar kedua setelah NU (Nahdatul Ulama). Secara implisit, keduidukan Muhammadiyah begitu strategis dan memiliki kekuatan yang cukup besar bagi sebuah perjalanan politik Indonesia. Memang, apabila kita melihat pada awal berdirinya Muhammadiyah, organisasi Muhammadiyah ini tidak menginginkan bergerak pada bidang politik praktis. Organisasi ini lebih bergerak pada bidang  sosial dan kemasyarakatan serta pendidikan. Akan tetapi apabila kita dilihat pada era berkuasanya Masyumi, pada awal tahun 50an Muhammadiyah banyak berkontribusi dalam kebijakan Masyumi, meskipun sangat sulit diidentifikasikan. Orang-orang Muhammadiyah banyak yang bergerak untuk mempengaruhi kebijakan Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia).  Masyumi yang pada saat itu merupakan partai Islam satu-satunya di era awal tahun 50 an, menjadi kendaraan politik bagi Muhammadiyah secara tidak langsung.  Karena didalam Masyumi sendiri terdapat organisasi-organisasi Islam lain seperti NU.
            Pada tanggal 8 September 1959 Muhammadiyah mengakhiri hubungannya dengan Masyumi. Setelah  menjadi pemeran tunggal di tubuh Masyumi tersebut. Ini dikarenakan NU keluar dari Masyumi.
 Di era modern seperti sekarang ini,  Muhammadiyah memiliki 2 corak pemikiran:
1.      Yang pertama corak modernisme,  yakni pemikiran politik yang menginginkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang non politik tetapi tidak anti politik. Akar pemikiran ini terfokus pada cita-cita Muhammadiyah, dan realisasinya ada pada 2 titik gerakan, yaitu pembaruan ajaran Islam dan kemenangan dunia Islam.
2.      Yang kedua, adalah corak sekulerisme sebagai pemikiran politik yang menginginkan berubahnya identitas Muhammadiyah, dari gerakan Islam menjadi partai politik.
            Ini secara tidak langsung, sangat mempengaruhi Muhammadiyah untuk melakukan politik dualisme dengan menggabungkan dua pemikiran tersebut. akhirnya, banyak tokoh Muhammadiyah yang memelopori gerakan politik Indonesia. Seperti Amien Rais yang menjadi batu loncatan bagi bangsa Indonesia dalam mengakhiri rezim Orde Baru, dan melangkah kedalam Orde Reformasi. ini menandakan bahwa Muhammadiyah telah melewati berbagai fase untuk mencari identitas baru sebagai gerakan sosial, namun tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kontribusinya dalam gerakan politik Indonesia.
Manifesto politik adalah suatu pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok terhadap masalah negara. Pada masa pergerakan nasional, perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan politik yang berkaitan dengan nasib dan masa depan bangsanya. Pernyataan politik ini amat penting artinya bagi terwujudnya Indonesia merdeka yang didengar dan didukung oleh dunia Internasional. Konsep-konsep manifesto politik Perhimpunan Indonesia sebenarnya telah dimunculkan dalam Majalah Hindia Poetra, edisi Maret 1925. Akan tetapi, perhimpunan Indonesia baru menyampaikan manifesto politiknya secara tegas pada awal tahun 1925 yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik 1925
Manifesto politik 1925 yang merupakan pernyataan dasar atau deklarasi dari pehimpunan Indonesia di negeri Belanda berbunyi sebagai berikut :
" Masa depan rakyat Indonesia secara eksekusif dan semata-mata terletak di dalam bentuk suatau pemerintahan yang bertanggungjawab kepada rakyat dalam arti yang sebenarnyabenarnya, karena hanya bentuk pemerintahan yang seperti itu saja yang dapat diterima oleh rakyat. setiap orang Indonesia haruslah berjuang untuk tujuan ini sesuai dengan kemampuan dan kecakapannya, dengan kekuatan dan usahanya sendiri, tanpa bantuan dari luar. setiap pemecahbelahan kekuatan bangsa Indonesia dalam bentuk apapun haruslah ditentang, karena hanya dengan persatuan yang eratdianatara putra-putra Indonesia saja yang dapat menuju ke arah tercapainya tujuan bersama" 

Apabila dikaji secara cermat, Manifesto Politik 1925 mengandung empat pokok pikiran yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.       Kesatuan nasional yang mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan membentuk kesatuan aksi melawan Belanda serta menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu.
b.      Solidaritas yang disebabkan adanya pertentangan kepentingan di anatara penjajah dan terjajah sarta tajamnya konflik anatara kulit putih dan sawo matang
c.       Nonkooperasi bahwa kemerdekaan bukan hanya hadiah dari Belanda, tetapi harus direbus dengan mengandalkan kekuatan sendiri
d.      Swadaya yakni mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternatif dalam kehidupan nasioanl, poltik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar dengan administrasi colonial.




















DAFTAR PUSTAKA

http://celotehhatidanpikiran.blogspot.com/2011/01/muhammadiyah-dalam-konstelasi.html.
Peacock, James, 1986, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia. Cipta Kreatif Indinesia. Jakarta
Rais, Amien, 1995, Moralitas Politik Muhammadiyah, Dinamika, Yogyakarta
Syaifullah, 1997, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Grafiti, Jakarta
Tamimy, Djindar, 2003, Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, UMM Press, Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar