BAB II
PEMBAHASAN
A. Politik
Muhammadiyah
Semua pihak mengetahui bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik dan
tidak pernah menjadi organisasi politik. Walaupun dalam Doktrin Muhammadiyah
menyebutkan bahwa “Muhammadiyah menghindari kegiatan politik praktis” (Dr.
Amien Rais : 1998: 48) dimensi politik dari gerakan Muhammadiyah tidak dapat
diabaikan. (Sudarnoto A H:kompas:83). Dalam tubuh Muhammadiyah telah berkembang
corak pemikiran yang cerdas tentang posisi politik Muhammadiyah. Pikiran
tersebut intinya menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak mengabaikan politik,
tetapi tidak berarti bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai respon terhadap kondisi
sosial pada masanya. Pikiran ini pernah muncul dan diterapkan pada periode awal
Muhammadiyah, dan dikemukakan kembali oleh Amien Rais (Ketua PP Muhammadiyah)
waktu itu, pada sekitar tahun 1997, dengan istilah baru: high politics atau
politik adi luhung (tingkat tinggi).
Politik adiluhung adalah politik dimana Muhammadiyah tidak hanya
peduli dengan keagamaan tetapi juga peduli dengan realitas sosial yang terjadi.
Muhammadiyah harus sensitif dan perlu merespon berbagai isu-isu seperti: KKN,
kepemimpinan nasional, kemiskinan, ketidakadilan global, konflik dan berbagai
macam fenomena sosial di Indonesia. Sehingga Muhammadiyah dalam konteks ini
perlu memiliki kemandirian politik. Artinya organisasi Muhammadiyah lahir
adalah demi kepentingan umat, dan bukan pengabdian kepada para pemimpinnya.
Atau para elit Muhammadiyah harus tampil dalam pengabdian masyarakat tanpa
beban politik dan interest pribadi. Muhammadiyah secara konstitusi internal
organisasi mengedepankan prinsip politik untuk dakwah bukan dakwah untuk
politik, hal ini jelas tergambar dalam matan keperibadian Muhammadiyah,
disamping sebagai gerakan Islam dan gerakan Tajdid, Muhammadiyah menekankan
diri sebagai gerakan dakwah. Segala kegiatan dalam bidang pendidikan, social,
termasuk politik diselenggarakan untuk kepentingan dakwah.
Muhammadiyah
memiliki slogan yang menarik “hidup hidupilah Muhammadiyah, dan jangan mencari
kehidupan di Muhammadiyah” ungkapan KH.Ahmad dahlan ini memiliki arti yang
sangat mendalam sesungguhnya bila dikaitkan dengan isu kontemporer prinsip high
politic yaitu politik tingkat tinggi atau politik Adiluhung yang dicetuskan
oleh Amien Rais sangat layak untuk menangkal permasalahan-permasalahan intress
politic dikalangan petinggi Muhammadiyah saat ini.
Untuk melihat perkembangan dan implikasi politik Muhammadiyah, kita harus
mengidentifikasi fenomena kemunculan Muhammadiyah hingga fase perkembangannya
hingga saat ini. Ada empat fase perkembangan Muhammadiyah, empat fase
perkembangan Muhammadiyah yaitu :
1. Fase
Identifikasi Diri
Pada fase ini Muhammadiyah menampilkan dirinya sebagai
gerakan Islam Modern yang berbasis perkotaan dan menjanjikan perubahan. Dalam
fase ini Muhammadiyah secara bertahap telah berhasil memperoleh dukungan yang
cukup luas.
2. Fase Ideologi Politik
Pada fase ini basis massa yang terbangun atas dasar Islam
ini merupakan legitimasi terhadap kelibatan elite Muhammadiyah secara praktis
dalam politik sekaligus merumuskan Islam sebagai Ideologi politik. Catatan
sejarah mengungkapkan bahwa tuntutan kelompok ini ialah tegaknya satu bentuk
masyarakat sosial-ekonomi dan politik Indonesia modern yang didasarkan kepada
ajaran Islam, contohnya keterlibatan Muhammadiyah atau sejumlah tokoh-tokohnya
mendirikan PII, MIAI, Partai Masyumi dan Parmusi.
3. Fase
Depolitisasi dan Deideologisasi
Tumbangnya komunis dan tegaknya orde baru sebenarnya
memberikan harapan termasuk bagi Muhammadiyah untuk melanjutkan perjuangan
politiknya. Akan tetapi peluang harus mengikuti logika restrukturisasi politik
orde baru dalam rangka stabilitas dan pembangunan nasional. Yang berarti bahwa
Muhammadiyah pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa ideologi politik
Islam sebagaimana yang selama ini diperjuangkan harus segera dikubur. Karena
dalam penyesuaian politik orde baru, pragmatism politik harus menjadi
satu-satunya pilihan sikap yang harus diambil oleh Muhammadiyah.
4. Fase
Repotilisasi
Era depolitisasi dan deideologisasi Muhammadiyah ini
semakin memperoleh bentuknya, tentu sejak penerapan Pancasila sebagai
satu-satunya Azas. Di masa ini kebangkitan kultural islam mulai Nampak dan hal
ini pula yang mempersubur semangat repolitisasi di lingkungan warga
Muhammadiyah ini dibuktikan dengan dijumpainya banyak aktifis orsospol yang
merupakan tokoh Muhammadiyah atau partisipan, dan hal ini pula yang menyebabkan
faktor mobilisasi warga Muhammadiyah untuk melakukan “ittiba politik” kepada
para pembesar. (Sudarnoto A.H : Kompas : 83-87)
B.
Peran Politik Muhammadiyah dalam Kancah
Politik Indonesia
Muhammadiyah bukanlah sebuah partai politik. Muhammadiyah
lebih merupakan organisasi Islamic-based civil society (masyarakat madani) dan
sekaligus sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu,
Muhammadiyah memiliki posisi sangat penting dan strategis dalam dinamika
politik nasional.
Salah satu faktor kebertahanan dan keberhasilan Muhammadiyah sepanjang
sejarah dalam menjalankan misinya adalah kemampuannya memelihara jarak
(disengagement) dengan negara, kekuasaan (power), dan politik sehari-hari
(day-to-day politics). Muhammadiyah dalam banyak perjalanan sejarahnya
cenderung melakukan “political disengagement”, menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam politik, apakah “politik negara” (state politics)
maupun “politik kepartaian” (party politics), atau politik kekuasaan (power
politics). Dengan watak seperti itu, Muhammadiyah dapat terhindar dari kooptasi
negara atau, lebih parah lagi, bahkan menjadi bagian dari negara itu sendiri.
Begitu pula dengan sikap Muhammadiyah yang mengambil jarak dengan parpol-parpol
sehingga tidak terjadi identifikasi Muhammadiyah dengan parpol tertentu.
Hasilnya, Muhammadiyah dapat memelihara karakter dan mu-ruah-nya sebagai
organisasi civil society.
Peranan Muhammadiyah yang
penting dan berarti adalah
dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Muhammadiyah ikut serta memperjuangkan kemerdekaan
Republik Indonesia sebagai kesatuan politik. Muhammadiyah
sejak berdirinya selalu memberikan kontribusi yang besar
dalam bidang itu. Politik tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia dan bagi
Muhammadiyah ada peranan-peranan tertentu dalam sejarahnya dibidang politik.
Muhammadiyah merupakan kelompok cendikiawan yang melakukan
pendekatan ilimiah dalam menganalisis perkembangan politik.
Peran Muhammadiyah dalam politik nasional juga sangat penting.
Muhammadiyah memang bukan partai politik. Muhammadiyah lebih merupakan
organisasi Islamic-based civil society (masyarakat madani) dan sekaligus
sebagai interest group (kelompok kepentingan). Dengan begitu, Muhammadiyah
memiliki posisi sangat penting lian strategis dalam dinamika politik nasional.
Besarnya Muhammadiyah dalam berbagai segi dan juga dengan keluasan ruang
geraknya membuat daya tekan politik (political leverage) perserikatan ini dalam
kancah politik nasional tidak bisa diabaikan. Meskipun, sekali lagi, ia
bukanlah organisasi politik. Walau begitu. Muhammadiyah seyogianya tidak tampil
“terlalu politis” dalam berbagai perkembangan dan dinamika politik nasional.
Sebaliknya, Muhammadiyah mesti senantiasa lebih menampilkan diri sebagai civil
society dan interest group, yang sekaligus memainkan peran sebagai pressure
grdup (kelompok penekan).
Saat ini Muhammadiyah cenderung mengambil posisi berseberangan, kritis -untuk
tidak menyatakan “beroposisi”- terhadap rezim Yudhoyono-Boediono. Sikap kritis
Muhammadiyah terhadap pemerintahan Yudhoyono terbentuk sejak tahun-tahun
terakhir pemerintahannya periode pertama (2004-2009). Hubungan yang kian tidak
mulus antara Muhammadiyah dan Presiden Yudhoyono kian meningkat ketika Ketua
Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin (seperti juga NU dan banyak ormas Islam
lain), baik secara implisit maupun eksplisit, memberikan dukungan kepada
pasangan capres-cawapres M. Jusuf Kalla-Wiranto.
Sikap Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam tersebut kelihatannya sangat
membekas dalam diri Presiden Yudhoyono. Akibatnya, Muhammadiyah dan NU
khususnya tidak lagi “diundang” untuk memberikan kadernya menjadi anggota
kabinet. Bahkan, kini tidak ada lagi figur representasi Muhammadiyah dalam
Kabinet Indonesia Bersatu II. Padahal, terdapat beberapa posisi menteri yang
dalam kabinet-kabinet masa Pasca-Soeharto hampir selalu dipegang figur-figur
Muhammadiyah. Terkatakan atau tidak oleh para pimpinan dan anggota Muhammadiyah,
kenyataan itu merupakan sesuatu hal sangat pahit yang sedikit banyak
menimbulkan resentment di lingkungan perserikatan.
C. Tantangan Yang Dihadapi Muhammadiyah Dalam Bidang Politik
1.
Menurut Busyro Muqoddas, tantangan
eksternal yang dihadapi Muhammadiyah adalah etika politik yang menonjolkan
transaksional pragmatis mengacaukan sistem ketatanegaraan dan sistem
presidensial.
2.
Syahwat politik beberapa oknum dalam kepemimpinan elite
Muhammadiyah, baik pusat daerah maupun cabang, akhirnya terjadi konflik internal
Muhammadiyah, karena perbedaan aspirasi politik, dan parahnya adalah menjadikan
Muhammadiyah sebagai kendaraan atau batu loncatan untuk meraih kedudukan
politik sementara orang atau aktif di Muhammadiyah hanya sebagai sarana untuk
mendapat dukungan politik tapi setelah jadi tidak mau tahu tentang
Muhammadiyah.
3.
Muhammadiyah
terjebak dalam arus politik kekuasaan, yang seringkali meninggalkan khittahnya sebagai gerakan dakwah Islam.
4.
Campur tangannya organisasi lain yang masuk ditubuh
Muhammadiyah dengan cara memasukkan kader-kadernya atau merekrut kader dengan
cara menyelenggarakan kajian-kajian dengan mengundang tokoh-tokoh atau pimpinan
Muhammadiyah (yang memang tidak melek politik dan mudah dikibulin) dengan
tujuan mencari dukungan bagi kepentingan politiknya.
D. Manifesto
Politik Muhammadiyah
Memang,
secara langsung Muhammadiyah tidak berperan dalam politik praktis di Indonesia.
Akan tetapi, secara tidak langsung pemikiran-pemikiran Muhammadiyah telah
mempengaruhi kebijakan Negara Indonesia bahkan dari awal berdirinya Negara ini
hingga sekarang. Sejak Proklamasi kemerdekaan Indonesia hingga akhir era
demokrasi Liberal, ada 18 Kabinet dalam pemerintahan Indonesia. dalam setiap
cabinet itu memiliki kontribusi kecuali dalam 4 kabinet yaitu Kabinet Amir I,
Kabinet Pemerintahan darurat RI, Susanto, dan Ali I. Dari sinilah manifesto
politik Muhammadiyah mulai ada, meskipun hal itu secara tidak langsung.
Muhammadiyah
sebagai gerakan Sosial Pendidikan Kemasyarakatan di Indonesia memiliki massa
yang sangat besar. Bahkan memiliki anggoa hingga 4 juta orang di seluruh negeri
ini. Ini menjadikan Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam terbesar kedua
setelah NU (Nahdatul Ulama). Secara implisit, keduidukan Muhammadiyah begitu
strategis dan memiliki kekuatan yang cukup besar bagi sebuah perjalanan politik
Indonesia. Memang, apabila kita melihat pada awal berdirinya Muhammadiyah,
organisasi Muhammadiyah ini tidak menginginkan bergerak pada bidang politik
praktis. Organisasi ini lebih bergerak pada bidang sosial dan
kemasyarakatan serta pendidikan. Akan tetapi apabila kita dilihat pada era
berkuasanya Masyumi, pada awal tahun 50an Muhammadiyah banyak berkontribusi
dalam kebijakan Masyumi, meskipun sangat sulit diidentifikasikan. Orang-orang
Muhammadiyah banyak yang bergerak untuk mempengaruhi kebijakan Masyumi (Majelis
Syura Muslimin Indonesia). Masyumi yang pada saat itu merupakan
partai Islam satu-satunya di era awal tahun 50 an, menjadi kendaraan politik
bagi Muhammadiyah secara tidak langsung. Karena didalam Masyumi
sendiri terdapat organisasi-organisasi Islam lain seperti NU.
Pada
tanggal 8 September 1959 Muhammadiyah mengakhiri hubungannya dengan Masyumi.
Setelah menjadi pemeran tunggal di tubuh Masyumi tersebut. Ini
dikarenakan NU keluar dari Masyumi.
Di era
modern seperti sekarang ini, Muhammadiyah memiliki 2 corak
pemikiran:
1.
Yang pertama corak
modernisme, yakni pemikiran politik yang menginginkan Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam yang non politik tetapi tidak anti politik. Akar
pemikiran ini terfokus pada cita-cita Muhammadiyah, dan realisasinya ada pada 2
titik gerakan, yaitu pembaruan ajaran Islam dan kemenangan dunia Islam.
2.
Yang kedua, adalah corak sekulerisme
sebagai pemikiran politik yang menginginkan berubahnya identitas Muhammadiyah,
dari gerakan Islam menjadi partai politik.
Ini
secara tidak langsung, sangat mempengaruhi Muhammadiyah untuk melakukan politik
dualisme dengan menggabungkan dua pemikiran tersebut. akhirnya, banyak tokoh
Muhammadiyah yang memelopori gerakan politik Indonesia. Seperti Amien Rais yang
menjadi batu loncatan bagi bangsa Indonesia dalam mengakhiri rezim Orde Baru,
dan melangkah kedalam Orde Reformasi. ini menandakan bahwa Muhammadiyah telah
melewati berbagai fase untuk mencari identitas baru sebagai gerakan sosial,
namun tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kontribusinya dalam gerakan
politik Indonesia.
Manifesto politik adalah suatu pernyataan terbuka tentang
tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok terhadap masalah negara. Pada
masa pergerakan nasional, perhimpunan Indonesia mengeluarkan pernyataan politik
yang berkaitan dengan nasib dan masa depan bangsanya. Pernyataan politik ini
amat penting artinya bagi terwujudnya Indonesia merdeka yang didengar dan
didukung oleh dunia Internasional. Konsep-konsep manifesto politik Perhimpunan
Indonesia sebenarnya telah dimunculkan dalam Majalah Hindia Poetra, edisi Maret
1925. Akan tetapi, perhimpunan Indonesia baru menyampaikan manifesto politiknya
secara tegas pada awal tahun 1925 yang kemudian dikenal sebagai Manifesto
Politik 1925
Manifesto politik 1925 yang merupakan pernyataan dasar atau deklarasi dari pehimpunan Indonesia di negeri Belanda berbunyi sebagai berikut :
Manifesto politik 1925 yang merupakan pernyataan dasar atau deklarasi dari pehimpunan Indonesia di negeri Belanda berbunyi sebagai berikut :
" Masa depan rakyat Indonesia
secara eksekusif dan semata-mata terletak di dalam bentuk suatau pemerintahan
yang bertanggungjawab kepada rakyat dalam arti yang sebenarnyabenarnya, karena
hanya bentuk pemerintahan yang seperti itu saja yang dapat diterima oleh
rakyat. setiap orang Indonesia haruslah berjuang untuk tujuan ini sesuai dengan
kemampuan dan kecakapannya, dengan kekuatan dan usahanya sendiri, tanpa bantuan
dari luar. setiap pemecahbelahan kekuatan bangsa Indonesia dalam bentuk apapun
haruslah ditentang, karena hanya dengan persatuan yang eratdianatara
putra-putra Indonesia saja yang dapat menuju ke arah tercapainya tujuan
bersama"
Apabila dikaji secara cermat, Manifesto Politik 1925 mengandung empat pokok pikiran yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a.
Kesatuan
nasional yang mengesampingkan perbedaan berdasarkan daerah dan membentuk kesatuan
aksi melawan Belanda serta menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka
dan bersatu.
b.
Solidaritas
yang disebabkan adanya pertentangan kepentingan di anatara penjajah dan
terjajah sarta tajamnya konflik anatara kulit putih dan sawo matang
c.
Nonkooperasi
bahwa kemerdekaan bukan hanya hadiah dari Belanda, tetapi harus direbus dengan
mengandalkan kekuatan sendiri
d.
Swadaya
yakni mengandalkan kekuatan sendiri dengan mengembangkan struktur alternatif
dalam kehidupan nasioanl, poltik, sosial, ekonomi, dan hukum yang sejajar
dengan administrasi colonial.
DAFTAR PUSTAKA
http://celotehhatidanpikiran.blogspot.com/2011/01/muhammadiyah-dalam-konstelasi.html.
Peacock, James, 1986, Gerakan Muhammadiyah
Memurnikan Ajaran Islam di Indonesia. Cipta Kreatif Indinesia. Jakarta
Rais, Amien,
1995, Moralitas Politik Muhammadiyah, Dinamika, Yogyakarta
Syaifullah,
1997, Gerakan Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Grafiti,
Jakarta
Tamimy, Djindar, 2003, Muhammadiyah; Sejarah,
Pemikiran, dan Amal Usaha, UMM Press, Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar